Indonesia terdiri dari 16.056 pulau dan merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Negara ini memiliki luas sebesar 1.919.000 km2, atau dengan kata lain 50 kali lebih besar dari luas wilayah Belanda. Jarak antara Amsterdam dan Jakarta adalah 11.357 km.
Pada tahun 1619, penduduk asli kehilangan hak untuk menentukan nasib mereka sendiri dan juga kontrol atas sumber daya alamnya karena adanya kekerasan bersenjata yang brutal. Tenaga kerja dan budaya mereka tunduk kepada para penguasa Belanda beserta segala kepentingan mereka.
Selama masa kolonial, penduduk Indonesia menempati kelompok terbesar di kasta terbawah sebagai “penduduk asli atau pribumi”, dan mereka hanya memiliki sedikit hak dibandingkan kasta lain. Di dalam kelompok pribumi ini, ada sekelompok kecil bangsawan pribumi. Anak-anak dari kelompok ini memiliki kesempatan untuk mengikuti pendidikan Eropa dan mungkin melanjutkan studi mereka di Belanda. Dari kelompok ini muncul pria dan wanita yang berada dalam posisi untuk melawan penjajah. Pada tahun 1908 mereka mendirikan Budi Oetomo yang mengupayakan peningkatan sosial ekonomi bagi penduduk Indonesia.
Sebagian besar kelompok wanita Indonesia pada masa penjajahan bernasib malang. Para wanita kehilangan haknya. Karena ada lebih banyak pria Eropa daripada wanita yang tinggal di koloni, solusi praktis untuk kekurangan wanita dicari oleh penjajah, pergundikan. Pria Belanda tersebut mulai hidup bersama dengan seorang wanita Indonesia atau Cina. Tetapi anak-anak yang dihasilkan dari hubungan ini tidak boleh dibesarkan oleh ibu mereka. Reggie Baay menulis buku yang sangat bagus berjudul De njai tentang kisah ketidakadilan dan kesedihan ini (2008).
Selain itu, banyak wanita bekerja sebagai buruh murah di perkebunan atau di pabrik. Mereka bekerja sebagai pelayan, atau sering disebut sebagai “babu” oleh orang Belanda, mereka tinggal bersama keluarga Belanda di mana mereka harus siap sedia siang dan malam untuk anak-anak keluarga orang Belanda sementara anak-anak mereka sendiri tinggal bersama keluarga mereka di kampung dan tumbuh tanpa kehadiran ibu mereka.
Organisasi wanita pertama seperti Putri Mardika, Putri Sejati, dan Wanita Oetama mengambil inspirasi dari ide-ide Kartini (1879-1904) tentang pendidikan dan emansipasi kelompok besar wanita ini. Isu-isu yang terjadi pada masa ini adalah buta huruf, kesehatan, poligami dan pernikahan anak di bawah umur.
Pada tahun 1926, para pekerja wanita, yang mengenakan topi bambu, bersatu dalam Sarekat Rakyat, berkumpul di Semarang untuk berdemonstrasi menuntut upah yang sama dengan para pria dan juga perlakuan yang adil. (Pamflet demonstrasi ini dapat ditemukan di arsip Belanda.)
Para wanita di kamp konsentrasi Upper Digoel, antara tahun 1928 dan 1942, adalah kaum nasionalis dan komunis. Mereka kuat dan tidak membiarkan penjara menghancurkan mereka. Mereka mendidik anak-anak mereka sendiri. Diperkirakan sekitar 1.000 wanita dan anak-anak berada di Boven Digoel. Sebagian besar wanita ada di sana karena pengasingan suami mereka dan 15 wanita ada di sana karena mereka sendiri telah ditangkap dan diasingkan. Wanita paling terkenal yang diasingkan dari tahun 1928-1931 adalah Sukaesih.1
Pada 22 Desember 1928, diadakan Kongres Wanita pertama, Kongres Wanita yang berfokus pada solidaritas dan persatuan wanita di nusantara dan peran wanita dalam perjuangan kemerdekaan, perbaikan gizi, kesehatan dan juga kesejahteraan.
Pada 1929, Perhimpunan Perempuan Indonesia, Perhimpunan Istri Indonesia, meluncurkan gerakan penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Pada 1930, Persatuan Putri Indonesia direorganisasi menjadi organisasi Sedar. Dari sudut pandang sosialis, organisasi ini memperjuangkan emansipasi dan pembebasan dari kolonialisme Belanda melalui perjuangan melawan kapitalisme.
Pada Kongres Wanita Kedua tahun 1934, dibentuk badan khusus untuk menangani persoalan buta huruf, yaitu Badan Pemberantasan Buta Huruf (BPBH). Dalam kongres ini dirumuskan pentingnya penghapusan kekerasan di tempat kerja dan perlakuan tidak adil terhadap buruh perempuan di perusahaan batik Lasem dan Rembang. Dalam kongres tersebut, para pekerja perempuan membicarakan masalah yang mereka hadapi. Juga, seorang pekerja muda menceritakan bagaimana dia harus bekerja saat berusia 11 tahun dan tidak dibayar.
Tuntutan program tersebut adalah membebaskan perempuan dari buta huruf dan menjamin upah yang layak untuk bertahan hidup dan membebaskan diri dari penjajahan. Pemberdayaan sangat penting dan mendasar untuk bisa melawan penindasan Belanda.
Sebagai penjajah, Belanda tidak pernah menginvestasikan pendidikan bagi penduduknya. Hanya kelas kecil atas yang dapat memanfaatkan pendidikan Eropa. Kutipan dari buku Buiten het Gareel (Out of Line) yang terbit pada 1940 oleh Suwarsih Djojopuspito adalah ilustrasi untuk situasi: “Seratus delapan puluh sekolah Belanda untuk populasi 60 juta. Katakan dengan jujur, bukankah itu sedikit rendah? Tidakkah menurutmu itu agak menyedihkan?” kata seorang guru dalam novel Out of Line karya sastrawan Indonesia Suwarsih Djojopuspito, terbitan Belanda tahun 1940.
Banyak guru asli Indonesia mengabdikan diri untuk cita-cita mereka: pendidikan yang lebih baik untuk kelompok besar anak-anak yang sampai saat itu tersingkir dari pendidikan. Selain itu, mereka memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Apa yang disebut ‘sekolah liar’ ini – setelah tahun 1930, ada lebih dari 130.000 siswa terdaftar – menyebabkan meningkatnya ketegangan dengan otoritas kolonial. Hal ini menyebabkan proklamasi “Ordonansi Sekolah Liar”2 pada 1923 yang menyebabkan protes besar-besaran.
Diperkirakan pada masa penjajahan sampai 1942, hanya 3.500 orang Indonesia yang mengenyam pendidikan teknik Eropa dan sekitar 19.000 orang berpendidikan SMA. Dari angka itu, orang Tionghoa yang bersekolah diperkirakan 4.000. Dari total populasi 60 juta.
Untuk menggerakkan banyak orang, diperlukan dukungan dari organisasi-organisasi perempuan. Setelah Kongres Perempuan Nasional di Klaten pada Desember 1945, Kowani, Kongres Wanita Indonesia, didirikan sebagai federasi payung dari semua organisasi perempuan dan untuk mendukung kemerdekaan Indonesia.
- Sukaesih
Seorang tahanan wanita paling terkenal yang dideportasi ke Digul Atas, di mana isolasi dan pemutusan psikologis adalah tujuannya, adalah Sukaesih (1895, Garut, Jawa Barat). Kehidupan politiknya dimulai ketika dia melawan sebagai aktivis selama pembantaian petani Belanda selama aksi mogok gula.3
Sekitar tahun 1926, ia ikut mendirikan sayap perempuan Partai Komunis dan aktif di Sarekat Rakjat, sebuah serikat buruh yang populer.
Sejak tahun 1927, dia berada dalam penahanan pra-persidangan untuk kegiatan yang melanggar KUHP Kolonial. Catatan menunjukkan bahwa 15 wanita diasingkan ke Digul Atas. Pada tahun 1931, Sukaesih menikah dengan seorang buruh pelabuhan Belanda yang bekerja di Tanjung Priok dan menjadi anggota CPN. - Ordonansi Sekolah Liar
Ordonansi Sekolah Liar adalah sebuah ordonansi pengawasan pendidikan swasta. Semua guru membutuhkan izin tertulis untuk melakukan pekerjaan mereka sejak tanggal efektif peraturan ini ditetapkan. Hal ini memungkinkan pemerintah untuk memberhentikan guru dari kegiatan mengajar dengan alasan kualitas. Sebagai reaksi terhadap peraturan ini, protes besar-besaran pecah di antara penduduk asli yang dipimpin oleh Taman Siswa, salah satu organisasi pendidikan nasionalis terbesar. Perlawanan Taman Siswa, yang didirikan pada 1922 oleh Ki Hadjar Dewantara, mendapat begitu banyak dukungan dari kelompok-kelompok dan partai-partai nasional, sehingga pemerintah kolonial terpaksa mencabut peraturan itu lagi pada 11 Januari 1933. - Mogok Gula
Antara 1917 dan 1923, lebih dari 20.000 pekerja di 160 dari 190 pabrik gula memberhentikan pekerjaan untuk jangka waktu pendek atau panjang. Lihat: “Colonial Wars in Indonesia” – Five centuries of resistance to foreign domination, Piet Hagen, Arbeiderspers 2018.
Pada 1917, Raden Mas Soerjopranoto memimpin pemogokan umum pertama pekerja pabrik gula yang bergabung dengan serikat pekerja pertama yang didirikan di Indonesia, PFB. Pada 1919, PFB bergabung dengan PPPB, bersama dengan 22 serikat pekerja lainnya, dalam federasi Persatuan Perhimpunan Kaum Buruh, PPKB, Serikat Pekerja. Ini adalah federasi buruh pertama dalam sejarah Indonesia. PFB dimulai pada saat panen dan musim giling pada 1919 sebagai inisiatif para pekerja di daerah penghasil gula untuk menuntut hak mereka. Pemogokan massal dimulai pada 20 Agustus 1920 dari Pabrik Gula Padokan di Yogyakarta, setelah itu menyebar ke seluruh Jawa. Karena tindakan ini, surat kabar De Expres memberi Soerjopranoto julukan “Raja Mogok”.
Sebelum itu
Pada 1930, lebih dari 240.000 orang dengan status legal Eropa tinggal di koloni tersebut. Dari seluruh populasi, angka itu berarti kurang dari 0,5%. Sebanyak 75% orang-orang Eropa ini termasuk dalam kelompok Indo-Eropa (orang-orang dengan nenek moyang Asia dan Belanda).
1940
Sementara Belanda sudah diduduki oleh Jerman, hubungan perdagangan antara Hindia Belanda dan Jepang terus berlanjut. Pada akhir 1940, Nederlandse Koloniale Petroleum Maatschappij (NKPM, pendahulu Shell) membuat kesepakatan besar dengan Jepang untuk memasok 760.000 ton minyak mentah dan 650.000 ton produk minyak per tahun, sehingga secara tidak langsung membantu Hindia Belanda mencapai kehancurannya sendiri.
1942
Pada Januari dan Februari, Jepang menaklukkan Aceh, Manado, dan Ambon, dari sekian banyak daerah. Pada 9 Maret, KNIL, Tentara Kerajaan Hindia Belanda, menandatangani perjanjian di Kalidjati dekat Bandung.
Pendudukan Jepang berarti kebebasan bagi para pejuang kemerdekaan yang, tanpa dihukum, telah diasingkan oleh rezim kolonial Belanda ke kamp konsentrasi Digul Atas di Papua Nugini. Tujuan pengasingan adalah untuk menghilangkan pemikiran tentang kemerdekaan sejak awal melalui isolasi dan penyiksaan psikologis. Tahanan terkenal di Digul Atas termasuk Mohamad Hatta, wakil presiden pertama Indonesia, dan Soetan Sjahrir, perdana menteri pertama.
Tahanan-tahanan lain juga dilepas dari kamp-kamp pengasingan lainnya, seperti Flores dan di pulau-pulau Maluku yang jarang penduduknya. Di antaranya Soekarno dari Bengkulu, Sumatera.
7 September 1942
Pada tanggal ini, Jepang mengumumkan pembukaan kembali sekolah. Hal ini sebagian didasarkan pada gagasan bahwa pendidikan adalah sarana untuk memengaruhi pola pikir kaum muda. Berbeda dengan pendidikan pada masa penjajahan Belanda yang terbagi berdasarkan latar belakang sosial dan asal usul orangtua, sistem sekolah berubah menjadi pendidikan di mana untuk pertama kalinya anak-anak dari lapisan masyarakat yang lebih luas bisa bersekolah. Jepang merumuskan kembali pendidikan Indonesia dan menghilangkan semua pengaruh Barat.
1942-1944
Selain tawanan perang Belanda, mereka adalah pekerja paksa dari Jawa yang disebut Romusha, yang digunakan sebagai pekerja paksa pada masa pendudukan Jepang. Beberapa dari mereka dibawa ke bagian lain Asia, contohnya mereka harus bekerja di Burma Railway, jalur kereta api antara Thailand dan Burma yang dijuluki Death Railway (Rel Kematian). Sejumlah 15.000 tawanan perang meninggal karena kelelahan, penyakit, dan kekurangan gizi. Di antaranya 7.000 orang Inggris, 4.500 orang Australia, 131 orang Amerika, dan hampir 3.000 orang Belanda. Diperkirakan lebih dari 96.000 pekerja paksa Jawa tewas. Sejumlah besar pekerja paksa Thailand, Burma, dan Melayu juga menjadi korban.
Jepang memperkenalkan sistem Romusha dengan kedok “Untuk kemakmuran lebih besar di Asia Timur. Aturannya adalah bahwa setiap keluarga petani harus menyediakan satu orang untuk menjadi Romusha, seorang prajurit ekonomi.” Karena Jepang telah menghitung bahwa tingkat pertumbuhan penduduk Jawa tinggi, mereka melihat ini sebagai hal yang sangat menguntungkan. Komunitas lain yang juga dipanggil untuk mensuplai seseorang seperti kelompok Tionghoa, pedagang, atau pegawai negeri dapat keluar dari situasi ini dengan membayar keluarga miskin, sering kali petani, untuk mensuplai seseorang tambahan. Banyak pria dari keluarga petani mencoba melarikan diri dari tugas ini dengan bersembunyi di sawah.
1943-1945
Proyek besar lainnya yang melibatkan 102.000 Romusha dan 5.000 tawanan perang Barat sebagai pekerja paksa adalah Kereta Api Pekanbaru, jalur kereta api melalui hutan Sumatra dengan panjang 200 km. Empat dari setiap lima pekerja paksa meninggal.
1942
Dengan diangkatnya Soejono sebagai menteri tanpa portofolio dalam Kabinet Perang Gerbrandy II di London, Belanda ingin menjelaskan kepada Amerika bahwa mereka tidak sedang menempuh kebijakan yang reaksioner. Dalam dua rapat kabinet, Soejono mengajukan pengakuan prinsip dan kemerdekaan bagi Indonesia setelah Perang Dunia II. Dia merasa dikhianati ketika dia tidak didukung oleh salah satu anggota kabinet. Dia meninggal setahun kemudian di London.
1944
Sebagai persiapan berakhirnya Perang Dunia II, Belanda mendirikan Netherlands Civil Administration (NICA) pada April 1944. Organisasi semi-militer ini bertujuan mengembalikan administrasi sipil kolonial Belanda di daerah jajahan sesegera mungkin setelah perang. NICA akan menimbulkan banyak korban, terutama di Jawa, Sulawesi, dan Sumatra.
1945
Jepang menyerah pada 15 Agustus.
1945
Pada 17 Agustus, Proklamasi Republik Indonesia berlangsung. Dua hari setelah Jepang menyerah, Soekarno dan Hatta memproklamasikan Republik Indonesia Merdeka dengan Jakarta sebagai ibukotanya. Belanda tidak mengakui republik dan melakukan segala daya untuk mendapatkan kembali bekas jajahannya, yang mengakibatkan rentetan kekerasan. Jakarta sangat tidak aman. Pasukan Sekutu yang akan datang untuk menyerahkan tawanan perang APWI (Tawanan Perang dan Interniran Sekutu) didampingi oleh tentara NICA, yang bersalah atas pembunuhan, penembakan, dan teror kejam lainnya.
1945-1949
Untuk menjaga kedaulatan NKRI, ada perlawanan. Penduduk tidak mau melepaskan kemerdekaan dan tidak mau kembali ke sistem kolonial. Selain itu, ada juga perjuangan diplomatik di tingkat internasional. Pada bulan-bulan terakhir 1945, Jakarta adalah tempat terjadinya kekerasan dan teror.
Pada periode yang sama, sejak Oktober 1945 dan seterusnya, warga Indo-Eropa, Belanda, dan Tionghoa untuk pertama kalinya dihadapkan pada kekerasan yang ditujukan kepada mereka, dalam bentuk tindakan kekerasan yang sangat serius dari pihak “Pemuda”, para pemuda Indonesia. “Masa Bersiap” ini menelan banyak korban, sedikitnya 3.500 orang “tercatat tewas” dan sekitar 2.000 orang hilang.
[sumber: The victims of the Bersiap/NIOD blog]
19 September 1945
Insiden bendera Hotel Yamato
10 November 1945
Pertempuran Surabaya
Pada 18 September 1945, pasukan Inggris, Palang Merah Internasional (Intercross) dan pasukan Belanda tiba di Surabaya, kota pelabuhan terbesar di Jawa Timur. Tujuannya adalah untuk melucuti tentara Jepang setelah penyerahan dan untuk memulihkan situasi kosong. Hotel Yamato menjadi markas RAPWI (Rehabilitasi Tawanan Perang dan Interniran Sekutu).
Provokasi pengibaran bendera Belanda di lantai atas hotel pada malam 19 September menimbulkan kemarahan besar masyarakat Surabaya. Proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak dihormati.
Residen Sudirman dari Surabaya mencoba mencegah konflik yang lebih besar dengan mengunjungi Belanda di Hotel Yamato. Ia ingin membujuk panglima tentara Ploegman untuk menurunkan bendera Belanda. Jawaban Ploegman, bagaimanapun, adalah: “Sekutu memenangkan perang, dan karena Belanda adalah bagian dari Sekutu, itu adalah hak mereka untuk mengembalikan pemerintah Hindia Belanda. Republik Indonesia? Kami tidak tahu apa itu!”
Sementara Soedirman tetap berada di lobi dengan Sidik dan Hariyono yang menjaganya, Ploegman datang kembali dengan senapan untuk mengancam Soedirman. Saat Sidik melawan Ploughman, Hariyono menyeret Soedirman keluar. Sidik dan Ploegman tewas dalam pertempuran. Ketika orang banyak melihat Sudirman dan Hariyono berlari keluar, mereka mengerti bahwa tidak ada kesepakatan yang dicapai. Saat itulah sekelompok anak muda memutuskan untuk pergi ke atap untuk menurunkan bendera Belanda. Akhirnya, bagian bawah bendera biru dirobek dan meninggalkan bendera merah putih.
Peristiwa bendera tersebut merupakan awal dari masa-masa sulit yang berpuncak pada 10 November dengan Pertempuran Surabaya. Pada hari itu, pasukan Inggris menyerbu kota ketika ultimatum Inggris tentang penyerahan senjata di Surabaya tidak dipenuhi. Inggris, yang didukung secara militer oleh tank, pengebom tempur, dan artileri angkatan laut, merebut Surabaya sementara penduduknya melawan dalam pertempuran jalanan yang sengit. Pada 29 November, kota ini berada di tangan Inggris. Pada akhirnya, 400 orang Inggris dan 16.000 orang Indonesia terbunuh.
Sulawesi 1945
Setelah Proklamasi 17 Agustus, Makassar diduduki oleh negara-negara Barat, Inggris dan Australia, dengan NICA di belakang mereka, bertugas memulihkan pemerintahan kolonial. Sam Ratulangi, Gubernur Sulawesi, ditangkap dan diasingkan pada 5 April 1946. Sejak Agustus 1945, terjadi pertempuran antara pemuda dan mahasiswa melawan NICA. Rakyat Sulawesi tidak ingin menjadi ibukota negara Indonesia Timur (NIT) yang didukung Belanda. Ketika Manai Sophiaan, Ketua Pusat Pemuda Nasional Indonesia (PPNI) ditangkap oleh NICA, hal itu menimbulkan kemarahan besar di kalangan penduduk. Salawati Daud mendirikan “Tim Informasi”, sebuah organisasi yang mengampanyekan penentangan terhadap kehadiran Belanda di Sulawesi. Dia juga mengangkat senjata melawan tentara NICA. Bersama Emmy Saelen, dia memimpin penyerangan terhadap barak polisi di Masamba. Pada 1949, Daud menjadi Walikota Makassar pertama di Republik Indonesia.
Sulawesi 1945
Pada 1945, Andi Depu Maradia Balanipa, penerus raja ke-50 Balanipa, mendirikan “Kris Muda”, sebuah organisasi yang didedikasikan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ketika Belanda kembali setelah penyerahan Jepang, ia mengubah Istana Balanipa menjadi markas pejuang Republik di Mandar dengan bendera merah putih di halaman depan. Di bawah kepemimpinannya, Mandar bertahan dari invasi Belanda. Pada 15 Januari 1946, tentara NICA bersenjata mengepung istana dan akhirnya berhasil merebutnya. Lokasi penjaranya berubah 28 kali. Setelah penyiksaan berat oleh NICA, dia dibebaskan sebelum penyerahan kedaulatan.
Maret 1946
Pendirian PRIM
Sesaat setelah Proklamasi Republik Indonesia, Johannes Latuharhary mengajak masyarakat Maluku untuk ikut berjuang melawan Belanda yang tidak mengakui negara merdeka dan ingin kembali ke sistem kolonial.
Latuharhary ditunjuk sebagai Gubernur Maluku, gubernur republik pertama di Maluku. Namun, itu hanya posisi di atas kertas karena dia tidak bisa melakukan perjalanan ke Maluku. Ini karena tentara Australia telah mengalihkan kekuasaan kembali ke bekas penjajah. Dan Belanda, khususnya di Ambon, segera melanjutkan perekrutan prajurit KNIL.
Banyak pemuda Maluku menjawab panggilan Latuharhary untuk bergabung dengan Indonesia. Ini menciptakan PRIM, Pemuda Republik Indonesia Maluku. PRIM berpartisipasi dalam Pertempuran Surabaya yang berlangsung dari 27 Oktober hingga 20 November.
Pada 1946, PRIM direorganisasi menjadi Divisi Pattimura sebagai bagian dari TNI. Latuharhary menjadi penasihat kepala unit.
1946
Pada November, diadakan Konferensi Linggardjati. Di tingkat diplomatik, Belanda berusaha mengamankan kepentingannya melalui gagasan menjadikan Indonesia negara federasi, terkait dengan Belanda.
Setelah kekejaman 3,5 abad kolonialisme, tindakan kekerasan Belanda selama Agresi Militer Belanda I (Aksi Polisi Pertama) dan Agresi Militer Belanda II (Aksi Polisi Kedua) terhadap penduduk Indonesia, 1945-1949, sangat banyak dan kejam, yang bahkan belum pernah terjadi sebelumnya. Beberapa contoh, yaitu:
1946
Dalam Pertempuran Margarana di Bali, masyarakat Bali, yang dipimpin oleh Letnan I Gusti Ngurah Rai, melawan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan pulau mereka yang baru diperoleh. Bersama 95 pejuang, I Gusti Ngurah Rai tewas pada 20 November ketika Belanda menggunakan serangan udara untuk menghancurkan tentara Bali.
Sulawesi 1946
Pada 5 Desember 1946, DST, Depot Special Troops, unit komando yang dikomandani oleh Kapten Raymond Westerling untuk misi khusus, yang terdiri dari 30 tentara kulit putih Belanda dan 90 tentara kulit berwarna, tiba.
Di Indonesia, aksi-aksi pembantaian yang banyak dilakukan di bawah komando Westerling di Sulawesi pada 1946 terangkum dalam rangkaian “kekejaman Westerling”.
Dengan kedok membersihkan Sulawesi Selatan dari “ekstremis prorepublik,” unit khusus kecil Kapten Raymond Westerling melakukan pembantaian yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Ke mana pun Westerling pergi, dia mengumpulkan penduduk di lapangan dan memisahkan pria, wanita, dan anak-anak. Mereka datang seolah-olah ingin menemukan ekstremis. Dalam “persidangan militer”, dia menampilkan pertunjukan di mana “yang bersalah” dieksekusi di depan keluarga mereka dan sesama penduduk desa.
Pembantaian dilakukan secara bertahap. Pembunuhan Tahap Pertama terjadi pada 11-16 Desember 1946 di sekitar Makassar dan sekitarnya di desa Batua, Bolomboddong, Tanjung Bunga, Kalukuang. Desa Jongaya, rumah bagi dua keturunan Rajah, Raja Bone, Andi Pangeran dan Andi Mapanyukki yang bersimpati pada Republik, juga menjadi sasaran pada tahap pertama.
Tahap Kedua 17-31 Desember 1946: Gowa, Takalar, Jeneponto, Polombangkeng, Binamu. Tahap Ketiga 2-16 Januari 1947: Bantaeng, Gantaran, Bulukumba, Sinjai.
Tahap Keempat 17 Januari-5 Maret 1947 di Mros, Pangkajene, Sigeri, Tanete, Barru, Pare-Pare, Polewali, Mandar, Sidenreng dan Rappang.
Selain itu, pembantaian dilakukan di Supa. Raja dibunuh secara mengerikan oleh Westerling.
21 Juli 1947 – 5 Agustus 1947
Agresi Militer Belanda I, (Aksi Polisi Pertama – Produk Operasi)
1947
Pembantaian di desa Rawagede, Jawa Barat, terjadi pada 9 Desember 1947. Pada hari itu, 431 orang dibunuh oleh tentara Belanda yang mencari kombatan. Pada 1947, para pelaku kejahatan perang ini diputuskan untuk tidak diadili.
1948
Pada 17 Januari, Perjanjian Renville, sebuah perjanjian politik, ditandatangani di kapal pengangkut Angkatan Laut AS USS de Renville, yang diprakarsai oleh Dewan Keamanan PBB. Kesepakatan itu mengarah pada gencatan senjata.
Belanda melihat bahwa simpati internasional untuk Republik tumbuh. Namun demikian, pemerintah Belanda memutuskan untuk mengambil tindakan militer lagi. Mereka ingin mengakhiri perang gerilya dan menghabisi Republik untuk selamanya. Spoor ingin menggunakan serangan mendadak di Yogyakarta, yang pada waktu itu menjadi ibukota Republik, merebut kepemimpinan politik dan militer. Jika langkah itu bisa merebut daerah-daerah di Jawa dan Sumatera yang dipertahankan oleh TNI, Republik secara efektif akan menjadi tanpa kemudi politik dan militer dan [kedaulatannya] tidak ada lagi.
Pada 19 Desember 1948, pasukan terjun payung Belanda mendarat di Yogyakarta. Soekarno dan Hatta ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka. Pimpinan tentara melarikan diri. Dengan persetujuan Jenderal Spoor untuk Aksi Polisi ke-2, Agresi Militer Belanda II, Perjanjian Renville berakhir.
Jenderal Sudirman, meskipun punya penyakit paru-paru yang parah, melakukan perjalanan ke selatan dan memimpin perang gerilya selama tujuh bulan. Ketika Belanda menyatakan pada 1948 bahwa Indonesia sudah tidak ada lagi, Soedirman menunjukkan hal sebaliknya dengan menggunakan Tentara Nasional untuk mengubah Jawa menjadi medan perang gerilya yang besar.
1949
Pada 5 Januari, terjadi pembantaian yang dikenal sebagai “Tragedi 5 Januari 1949” di Rengat, Sumatra.
Selama “Operasi Lumpur”, Belanda melakukan pembantaian di kota Rengat di Provinsi Sumatra Timur yang direbut, menewaskan lebih dari 2.000 orang dan melukai lebih dari 600 lainnya. Ada juga pemerkosaan, penjarahan, dan eksekusi mati. Jenazah diangkut melalui Sungai Indragiri.
(Setiap tahun masih ada upacara memperingati “Agresi Militer Belanda”. Upacara ditutup oleh anak-anak sekolah, guru, veteran, dan warga Rengat lainnya yang menaburkan bunga di perairan yang menjadi lautan tubuh berwarna merah pada 5 Januari 1949).
Seperti terjadi di kota Tembilahan, pesawat pengebom P-51 Mustang menjatuhkan bom di rumah-rumah penduduk di kota Rengat. Serangan udara membuat warga tidak punya cara untuk melarikan diri. Orang-orang yang sudah di tanah ditembak jatuh. Dalam sejarah Indonesia, peristiwa ini digambarkan sebagai serangan yang penuh kekejaman dan kebiadaban.
Tujuan “Operasi Lumpur” adalah untuk secepat mungkin menduduki ladang minyak yang tidak rusak di Air Molek, yang terletak di sebelah Rengat, dan kemudian memulihkan administrasi sipil kolonial. Baik Paras maupun Komando diberi 20.000 gulden untuk tujuan memulihkan otoritas lokal. Para pekerja juga harus didorong untuk kembali bekerja sesegera mungkin, sebagian didasarkan pada gagasan bahwa ini akan mengurangi kemungkinan pemberontakan baru. Pada masa pendudukan Jepang, kegiatan perminyakan diperluas, sehingga Bataafse Petroleum Maatschappij (BPM) kini memiliki kepentingan yang lebih besar lagi.
Ketika Belanda mendengar bahwa Sultan menyerukan perlawanan dalam bentuk perang gerilya di daerah itu, mereka takut akan terjadi kerusakan ekonomi pada ladang minyak. Belanda membalas dengan serangan dari berbagai arah dan menguasai wilayah tersebut pada akhirnya.
19-20 Desember 1948
Agresi Militer Belanda II (Aksi Polisi Kedua).
1949
Secara internasional, muncul kemarahan terhadap Aksi Polisi kedua ini. Dewan Keamanan meminta pihak-pihak untuk segera menghentikan kekerasan dan meminta Belanda membebaskan presiden dan para tahanan politik. AS mengancam Belanda dengan sanksi internasional dan penghentian Marshall Aid, infusi ekonomi untuk Eropa yang hancur setelah Perang Dunia II.
7 Mei 1949
Perjanjian Roem-Roijen
Pada akhirnya, perang dimenangkan oleh TNI, Tentara Nasional Indonesia, angkatan bersenjata Indonesia, yang didukung secara luas oleh rakyat Indonesia. Penandatanganan Perjanjian Roem-Roijen pada 7 Mei 1949 memastikan bahwa Soekarno dan Hatta dibebaskan dan gencatan senjata disepakati.
Harga kemerdekaan – 23 Agustus 1949
Kondisi kemerdekaan juga menyebabkan pertengkaran di meja perundingan. Delegasi Belanda menuntut agar seluruh utang Belanda-India sebesar 6,5 miliar gulden harus masuk ke Indonesia, termasuk biaya aksi militer baru-baru ini yang diperkirakan telah menelan lebih dari seratus ribu jiwa orang Indonesia. RUU asli menyatakan bahwa “langkah-langkah yang diambil untuk memulihkan ketertiban dan ketenangan (…) adalah untuk kepentingan Indonesia.”
Pada akhirnya, Indonesia tunduk pada keputusan komisi utang di mana, di bawah tekanan diplomat PBB Cochran, dipotong dua miliar gulden untuk biaya militer tambahan.
Setelah tiga setengah abad penjajahan, Indonesia akhirnya mendapat 4,5 miliar gulden dengan bunga yang menyertainya. Belanda berhasil melunasi utang ini berkat uang dari Marshall Plan dan konsesi keuangan lainnya.
27 December 1949
Peralihan Kedaulatan. Setelah menandatangani Perjanjian Roem-Roijen, Belanda akhirnya mengakui kedaulatan penuh Republik Indonesia pada 27 Desember 1949.